PERKEMBANGAN REGULASI
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA :
PELUANG DAN TANTANGAN
A.
Pendahuluan
Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi dan
gerak pembangunan suatu bangsa,
lembaga
keuangan tumbuh dengan berbagai alternatif jasa yang ditawarkan. Lembaga
keuangan yang merupakan lembaga perantara dari pihak yang memiliki kelebihan
dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of
funds), memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat (financial
intermediary)1. Lembaga keuangan, sebagaimana halnya suatu lembaga atau
institusi, pada hakekatnya berada di tengah-tengah masyarakat. Lembaga yang
merupakan organ masyarakat merupakan sesuatu yang keberadaanya untuk memenuhi
tugas sosial dan kebutuhan khusus masyarakat. Berbagai jenis lembaga ada dan
dikenal dalam masyarakat masing-masing mempunyai tugas sendiri sesuai dengan
maksud dan tujuan dari tiap lembaga yang bersangkutan
Perbankan syariah merupakan institusi / lembaga
keuangan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak 16 tahun yang lalu
diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan bank syariah
diikuti dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di luar struktur
perbankan, antara lain Asuransi Takaful, Pasar Modal Syariah, Pegadaian
Syariah, dan Baitul Maal wat Tamwil ( BMT). Perkembangan bank syariah pada tiga
tahun terakhir ini relatif sangat cepat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
indikator, baik indikator keuangan,seperti jumlah aktiva, dana pihak ketiga,
volume pembiayaan, maupun dilihat dari kelembagaan, dan jaringan kantor bank.
Tulisan ini akan mengkaji bagaimana
perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia sebelum dan sesudah
disahkannya UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ? dan bagaimana
Peluang serta Tantangan bank syariah pasca lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 ?
B.
Regulasi Perbankan Syariah Sebelum Lahirnya Undang-undang Perbankan Syariah
Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama diharapkan
oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam Indonesia.
Umat Islam Indonesia merindukan layanan jasa
keuangan dan perbankan yang sesuai dengan syariat Islam, Khususnya berkaitan
dengan pelanggaran praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa
dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam
bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan
usaha yang etis dan benar secara syariah.
Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang
mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Pertama, Fatwa
Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram. Kedua,
trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khususnya di kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas. Ketiga, sistem ekonomi
syariah
berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi. Ketika
bank-bank
konvensional
tumbang dan butuh suntikan dana pemerintah hingga ratusan trilyun, Bank Muamalat
Indonesia, sebagai bank syariah pertama di Indonesia, mampu melewati krisis
dengan selamat tanpa bantuan dana pemerintah sepeserpun. Keempat, UU
Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di
Indonesia.Kelima, tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah ( LKS)
yang saling menopang. Bank Syariah dapat menggunakan asuransi syariah untuk
menutup risiko pembiayaan terhadap nasabahnya. Sebaliknya asuransi syariah dapat
menyimpan dananya di Bank Syariah, pasar modal syariah, maupun reksadana syariah.
Pengertian Bank menurut Pasal 1
angka 2 UU No tahun 1998 tentang Perubahan UU No.
7
Tahun 1992 tentang Perbankan, adalah ” badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meninmgkatkan taraf
hidup rakyat banyak”.
Di
Indonesia, lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan
(agent
of development ), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Sejak Indonesia merdeka, telah
disusun tiga undang-undang yang mengatur tentang
Perbankan,
yaitu UU No 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, UU No 7 Tahun 1992
tentang Perbankan , dan UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk Undang-undang juga telah
dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.5 Uraian ini akan mengkaji bagaimana
regulasi perbankan syariah
dari
ketiga undang-undang tersebut di atas.
B.1. Periode
Undang-undang No. 14 Tahun 1967
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia
sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Untuk menertibkan praktik lembaga
pelepas uang yang banyak terjadi waktu itu dikeluarkanlah pengaturan, baik
dalam bentuk undang-undang (wet) maupun berupa surat-surat keputusan
resmi dari pihak pemerintah. Di antara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak
zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N. V, tanggal 10
Oktober 18276 yang
kemudian
dikeluarkan undang-undang De Javashe Bank Wet 1922 7 Bank inilah yang
kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada
Tahun 1951, dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6
Desember 1951.
Sesudah Indonesia
merdeka regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan.
Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada
masa itu. Namun demikian undang-undang ini belum mengatur tentang bank syariah.
B.2.
Periode Undang-undang No. 7 Tahun 1992
Dalam rangka penyempurnaan tata perbankan
nasional, dikeluarkan UU No 7 Tahun 1992 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1967.
Melalui UU No. 7 Tahun 1992 ditempuh langkah-langkah antara lain :
(1)
Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya;
(2)
Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan
pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih
terarah;
(3)
Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan
melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan
kesehatan bank;
(4)
Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;
(5)
Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat
dan bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan
kepentingan masyarakat luas.
Selain
penyempurnaan-penyempurnaan di atas, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Ketentuan tersebut
terdapat dalam
Pasal 1 angka ( 12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c). Secara lengkap
pasal-pasal tersebut berbunyi :
Pasal
1 angka ( 12)
“ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan.”
Ketentuan
ini telah memberikan kemungkinan atau kesempatan kepada bank untuk
memberikan
kredit tanpa bunga kepada nasabah. Pengembalian dari nasabah kepada bank dapat berupa
imbalan atau bagi hasil.
Pasal
6 tentang Usaha Bank Umum. Pasal 6 huruf (m) :
“ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah
bedasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah “
Pasal
13 tentang Usaha BPR. Pasal 13 huruf (c) :
“ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah
bedasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah “
Ketentuan tentang bagi hasil tersebut
ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 2 ayat 1 PP tersebut menetapkan bahwa:
”prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat” (harus sesuai
dengan syariat Islam).
B.3.
Periode Undang-undang No. 10 Tahun 1998
Pada tanggal 10 Nopember 1998 telah
diundangkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat beberapa perubahan dan
penyempurnaan yang bersifat substansial. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut
adalah sebagai berikut :
(1)Peralihan
kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi
kewengan Menteri Keuangan;
(2)Perlunya
konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus
(3)Peningkatan
sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank;
(4)Peningkatan
peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
(5)Ketentuan
mengenai kemungkinan pemilikan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang
saham bank umum;
(6)
Peranan Badan Pengawas Keuangan;
(7)
Pendefinisian lembaga penjamin simpanan;
(8)
Penegasan sifat sementara bagi badan khusus;
(9)Pencantuman
persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
(10)
Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman.
Selain perubahan tersebut di atas, pada
undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang
lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang ini
memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan
”Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi
”Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Namun demikian, pada periode Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang
masih harus15 diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu
dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Masalah-masalah
tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bank syariah tunduk pada dua sistem hukum
yang berbeda.
2. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah.
3. Pengawasa bank syariah masih berdasarkan
pendekatan konvensional.
4. Bank Sentral memakai standar interest.
5. Belum memadainya peraturan pelaksanaan bank
Syariah.
6. Hukum Perdata tetap menjadi acuan dalam
dokumentasi dan legitimasi.
Dari masalah-masalah tersebut, masih dirasakan
pentingnya dikeluarkan ketentuan tersendiri tentang Sistem Perbankan Syariah.
Untuk itulah maka diupayakan pembuatan Rancangan Undang-Undang tersendiri
tentang Perbankan Syariah.10 Pada masa ini operasional
perbankan
syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan
fatwa
belum mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu pula
dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan
Indonesia.
C.
Pengaturan Bank Syariah melalui UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peluang
dan Tantangannya.
Perbankan Syariah menunjukkan fenomena yang
perkembangannya telah mengejutkan
para
pengamat perbankan konvensional. Bank – bank besar dari negara non muslim telah
memasuki pasar perbankan Islam dengan membuka Islamic Window, seperti
City Bank, Manhattan Bank, ANZ Bank dan Jardin Fleming telah membuka Islamic
window agar dapat berkiprah memberikan jasa – jasa perbankan Islam. Sahril
Sabirin mengatakan bahwa pengalaman selama krisis ekonomi masa lalu memberikan
suatu pelajaran berharga bahwa prinsip risk sharing ( berbagi risiko )
atau profit and los sharing ( bagi hasil ) merupakan prinsip yang dapat
meningkatkan ketahanan satuan – satuan ekonomi.
Pertumbuhan
lembaga keuangan syariah di Indonesia ( LKS) di Indonesia lebih tinggi
dibanding dengan pertumbuhan LKS di Malaysia. Gubernur Bank Indonesia
Burhanuddin Abdullah menegaskan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia
mencapai 50 %. Sementara di Malaysia dan di negara lain sekitar 15 – 20 %.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi stakeholder,
memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa
bank syariah, menjamin terpenuhnya prinsipprinsip Syariah, prinsip-prinsip
kesehatan Bank Syariah dan terutama untuk memobilisasi dana dari negara lain
yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendri,
sangat mendesak disusun dan diundangkannya UU Perbankan Syariah.
Setelah melalui proses yang cukup panjang,
tanggal 7 Mei 2008 DPR telah mensahkan
UU
No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari XIII Bab, 70
pasal.Undang-undang
ini mengatur mengenai :
a. Jenis Usaha Bank Syariah;
b. Ketentuan pelaksanaan syariah;
c. Kelayakan usaha;
d. Penyaluran dana bank syariah;
e. Larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha
Syariah;
f. Kepatuhan Syariah
Kedudukan Undang-undang Perbankan Syariah
adalah merupakan lex specialis dari UU Perbankan. Hal ini dikarenakan UU
Perbankan Syariah merupakan undang-undang yang khusus mengatur perbankan
syariah sedangkan UU Perbankan mengatur perbankan secara umum, baik perbankan
syariah maupun perbankan konvensional.Salah satu asas perundang-undangan adalah
lex specialis derogat lex generalis,yaitu undang-undang yang bersifat
khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum.Dengan demikian jika
dalam UU Perbankan Syariah ada pengaturan yang berbeda dengan yang diatur dalam
UU Perbankan, maka bagi Perbankan Syariah undang-undang yang digunakan adalah
UU Perbankan Syariah.
Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa
perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah:
a. Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan
Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank
Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);
b.Penggabungan (merger) atau peleburan
(akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank nonSyariah wajib menjadi Bank
Syariah (Pasal 17 ayat 2);
c. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai
asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun
sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1)
d.Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau
badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia
untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b).
Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung
melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat (1).
e. UU Perbankan Syariah juga memberikan
peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan
bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa
dilakukan
oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional
( Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa
lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah
merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance
company, dan merchant bank.
f. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh
sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas
dibandingkan
dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional.
g.Selain usaha komersial, bank syariah dapat
pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima
dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya
dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan
menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga
pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi
wakaf
(wakif) (Pasal 4 ayat 3).
UU Perbankan Syariah, di samping memberikan
peluang usaha yang lebih beragam bagi
bank
syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke
depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan tersebuat
antara lain :
a.
Bagi pelaku bank syariah nasional dengan lahirnya UU Perbankan Syariah adalah adanya
pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal
9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar bagi
warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan;
b.
Ketentuan tentang pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat (1) dapat
merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau
pekerja di perbankan Syariah;
c.
Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan
syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah
berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi
produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu
produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia
internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia;
d.
Ketentuan tentang calon pemegang saham pengendali (memiliki saham lebih dari
25% atau kurang dari 25% tetapi dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
perusahaan secara langsung ataupun tidak langsung) wajib lulus uji kemampuan
dan kepatutan dari Bank Indonesia (Pasal 27), juga merupakan sebuah tantangan karena
hal ini akan membatasi para pemodal untuk memiliki bank Syariah;
e.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama atau jalur lain sepanjang telah diperjanjikan dalam akad (Pasal
55) merupakan tantangan bagi bank syariah untuk memilih jalur yang tepat dalam
setiap akad perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di kemudian hari, mana yang
bisa diserahkan kepada Peradilan Agama dan mana yang diserahkan kepada lembaga
lain.
Dari uraian di atas, tantangan bagi Perbankan
Syariah harus ditanggapi dengan spirit untuk meningkatkan kualitas Perbankan
Syariah Nasional, Hal ini baik berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (pemilik
Bank, pemegang saham pengendali, karyawan ) maupun produk perbankan syariah.
Hal ini dikarenakan produk perbankan syriah harus sesuai dengan Fatwa Majelis
Ulama, walaupun produk tersebut digunakan secara internasional.
D.
Penutup
Regulasi perbankan syariah di Indonesia
dimulai dalam UU No 7 Tahun 1992 dengan menggunakan istilah bank berdasarkan
prinsip bagi hasil. UU No 10 tahun 1998 memberikan peluang yang lebih besar
untuk tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia.
Namun
demikian karena perbankan syariah memiliki karakteristik yang khas dibandingkan
dengan perbankan konvensional, maka diperlukan adanya undang-undang yang khusus
mengatur perbankan syariah.
UU Perbankan Syariah mengatur lebih
konprehensif tentang bank syariah. UU ini memberikan peluang yang sangat besar
untuk pertumbuhan bank syariah. Selain memberikan
peluang,
UU Perbankan Syariah juga memberikan tantangan bagi para pelaku bank syariah
nasional agar dapat berkompetisi dengan bankir asing yang berminat terjun dalam
perbankan syariah di Indonesia.
1xbet korean 2021 - legalbet
BalasHapus1xbet korean 2021. For the past 6 1xbet korean months, I have been playing at the top 5 online casinos in North America. The 제왕카지노 main thing I have been 온카지노 to