Sabtu, 12 April 2014

PERKEMBANGAN REGULASI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA : PELUANG DAN TANTANGAN




PERKEMBANGAN REGULASI
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA :
PELUANG DAN TANTANGAN

A. Pendahuluan

Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi dan gerak pembangunan suatu bangsa,
lembaga keuangan tumbuh dengan berbagai alternatif jasa yang ditawarkan. Lembaga keuangan yang merupakan lembaga perantara dari pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds), memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat (financial intermediary)1. Lembaga keuangan, sebagaimana halnya suatu lembaga atau institusi, pada hakekatnya berada di tengah-tengah masyarakat. Lembaga yang merupakan organ masyarakat merupakan sesuatu yang keberadaanya untuk memenuhi tugas sosial dan kebutuhan khusus masyarakat. Berbagai jenis lembaga ada dan dikenal dalam masyarakat masing-masing mempunyai tugas sendiri sesuai dengan maksud dan tujuan dari tiap lembaga yang bersangkutan
           
Perbankan syariah merupakan institusi / lembaga keuangan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak 16 tahun yang lalu diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan bank syariah diikuti dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di luar struktur perbankan, antara lain Asuransi Takaful, Pasar Modal Syariah, Pegadaian Syariah, dan Baitul Maal wat Tamwil ( BMT). Perkembangan bank syariah pada tiga tahun terakhir ini relatif sangat cepat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, baik indikator keuangan,seperti jumlah aktiva, dana pihak ketiga, volume pembiayaan, maupun dilihat dari kelembagaan, dan jaringan kantor bank.
           
Tulisan ini akan mengkaji bagaimana perkembangan regulasi perbankan syariah di Indonesia sebelum dan sesudah disahkannya UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ? dan bagaimana Peluang serta Tantangan bank syariah pasca lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 ?

B. Regulasi Perbankan Syariah Sebelum Lahirnya Undang-undang Perbankan Syariah

Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama diharapkan
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam Indonesia.

           Umat Islam Indonesia merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan yang sesuai dengan syariat Islam, Khususnya berkaitan dengan pelanggaran praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan usaha yang etis dan benar secara syariah.

Menurut Miranda Gultom  sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Pertama, Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram. Kedua, trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Ketiga, sistem ekonomi
syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi. Ketika bank-bank
konvensional tumbang dan butuh suntikan dana pemerintah hingga ratusan trilyun, Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank syariah pertama di Indonesia, mampu melewati krisis dengan selamat tanpa bantuan dana pemerintah sepeserpun. Keempat, UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di Indonesia.Kelima, tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah ( LKS) yang saling menopang. Bank Syariah dapat menggunakan asuransi syariah untuk menutup risiko pembiayaan terhadap nasabahnya. Sebaliknya asuransi syariah dapat menyimpan dananya di Bank Syariah, pasar modal syariah, maupun reksadana syariah.

            Pengertian Bank menurut Pasal 1 angka 2 UU No tahun 1998 tentang Perubahan UU No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, adalah ” badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meninmgkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

            Di Indonesia, lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan
(agent of development ), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

            Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang mengatur tentang
Perbankan, yaitu UU No 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan , dan UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk Undang-undang juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.5 Uraian ini akan mengkaji bagaimana regulasi perbankan syariah
dari ketiga undang-undang tersebut di atas.

B.1. Periode Undang-undang No. 14 Tahun 1967

Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Untuk menertibkan praktik lembaga pelepas uang yang banyak terjadi waktu itu dikeluarkanlah pengaturan, baik dalam bentuk undang-undang (wet) maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Di antara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 18276 yang
kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe Bank Wet 1922 7 Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada Tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.

            Sesudah Indonesia merdeka regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu. Namun demikian undang-undang ini belum mengatur tentang bank syariah.

B.2. Periode Undang-undang No. 7 Tahun 1992

Dalam rangka penyempurnaan tata perbankan nasional, dikeluarkan UU No 7 Tahun 1992 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1967. Melalui UU No. 7 Tahun 1992 ditempuh langkah-langkah antara lain :

(1) Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya;

(2) Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih terarah;

(3) Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;

(4) Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;

(5) Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

Selain penyempurnaan-penyempurnaan di atas, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka ( 12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c). Secara lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi :

Pasal 1 angka ( 12)

  “ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Ketentuan ini telah memberikan kemungkinan atau kesempatan kepada bank untuk
memberikan kredit tanpa bunga kepada nasabah. Pengembalian dari nasabah kepada bank dapat berupa imbalan atau bagi hasil.

Pasal 6 tentang Usaha Bank Umum. Pasal 6 huruf (m) :

  “ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah bedasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah “

Pasal 13 tentang Usaha BPR. Pasal 13 huruf (c) :

  “ Menyediakan pembiayaan bagi nasabah bedasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah “

Ketentuan tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 2 ayat 1 PP tersebut menetapkan bahwa: ”prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat” (harus sesuai dengan syariat Islam).


B.3. Periode Undang-undang No. 10 Tahun 1998

Pada tanggal 10 Nopember 1998 telah diundangkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan yang bersifat substansial. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah sebagai berikut :

(1)Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi kewengan Menteri Keuangan;

(2)Perlunya konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus

(3)Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank;

(4)Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

(5)Ketentuan mengenai kemungkinan pemilikan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank umum;

(6) Peranan Badan Pengawas Keuangan;

(7) Pendefinisian lembaga penjamin simpanan;

(8) Penegasan sifat sementara bagi badan khusus;

(9)Pencantuman persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

(10) Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman.

Selain perubahan tersebut di atas, pada undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan ”Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi ”Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.

Namun demikian, pada periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus15 diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Masalah-masalah tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Bank syariah tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda.

2. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah.

3. Pengawasa bank syariah masih berdasarkan pendekatan konvensional.

4. Bank Sentral memakai standar interest.

5. Belum memadainya peraturan pelaksanaan bank Syariah.

6. Hukum Perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan legitimasi.

Dari masalah-masalah tersebut, masih dirasakan pentingnya dikeluarkan ketentuan tersendiri tentang Sistem Perbankan Syariah. Untuk itulah maka diupayakan pembuatan Rancangan Undang-Undang tersendiri tentang Perbankan Syariah.10 Pada masa ini operasional
perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan
fatwa belum mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia.


C. Pengaturan Bank Syariah melalui UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peluang dan Tantangannya.

Perbankan Syariah menunjukkan fenomena yang perkembangannya telah mengejutkan
para pengamat perbankan konvensional. Bank – bank besar dari negara non muslim telah memasuki pasar perbankan Islam dengan membuka Islamic Window, seperti City Bank, Manhattan Bank, ANZ Bank dan Jardin Fleming telah membuka Islamic window agar dapat berkiprah memberikan jasa – jasa perbankan Islam. Sahril Sabirin mengatakan bahwa pengalaman selama krisis ekonomi masa lalu memberikan suatu pelajaran berharga bahwa prinsip risk sharing ( berbagi risiko ) atau profit and los sharing ( bagi hasil ) merupakan prinsip yang dapat meningkatkan ketahanan satuan – satuan ekonomi.

         Pertumbuhan lembaga keuangan syariah di Indonesia ( LKS) di Indonesia lebih tinggi dibanding dengan pertumbuhan LKS di Malaysia. Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menegaskan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia mencapai 50 %. Sementara di Malaysia dan di negara lain sekitar 15 – 20 %.

  Untuk menjamin kepastian hukum bagi stakeholder, memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, menjamin terpenuhnya prinsipprinsip Syariah, prinsip-prinsip kesehatan Bank Syariah dan terutama untuk memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendri, sangat mendesak disusun dan diundangkannya UU Perbankan Syariah.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, tanggal 7 Mei 2008 DPR telah mensahkan
UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari XIII Bab, 70
pasal.Undang-undang ini mengatur mengenai :

a. Jenis Usaha Bank Syariah;

b. Ketentuan pelaksanaan syariah;

c. Kelayakan usaha;

d. Penyaluran dana bank syariah;

e. Larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah;

f. Kepatuhan Syariah


Kedudukan Undang-undang Perbankan Syariah adalah merupakan lex specialis dari UU Perbankan. Hal ini dikarenakan UU Perbankan Syariah merupakan undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah sedangkan UU Perbankan mengatur perbankan secara umum, baik perbankan syariah maupun perbankan konvensional.Salah satu asas perundang-undangan adalah lex specialis derogat lex generalis,yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum.Dengan demikian jika dalam UU Perbankan Syariah ada pengaturan yang berbeda dengan yang diatur dalam UU Perbankan, maka bagi Perbankan Syariah undang-undang yang digunakan adalah UU Perbankan Syariah.

Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah:

a. Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);

b.Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank nonSyariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);

       c. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1)

          d.Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat (1).

e. UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa
dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional ( Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.

f. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas
dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional.

g.Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi
wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).


           UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi
bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan tersebuat antara lain :

a. Bagi pelaku bank syariah nasional dengan lahirnya UU Perbankan Syariah adalah adanya pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan;

b. Ketentuan tentang pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat (1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah;

c. Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia;

d. Ketentuan tentang calon pemegang saham pengendali (memiliki saham lebih dari 25% atau kurang dari 25% tetapi dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan secara langsung ataupun tidak langsung) wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan dari Bank Indonesia (Pasal 27), juga merupakan sebuah tantangan karena hal ini akan membatasi para pemodal untuk memiliki bank Syariah;

e. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau jalur lain sepanjang telah diperjanjikan dalam akad (Pasal 55) merupakan tantangan bagi bank syariah untuk memilih jalur yang tepat dalam setiap akad perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di kemudian hari, mana yang bisa diserahkan kepada Peradilan Agama dan mana yang diserahkan kepada lembaga lain.


Dari uraian di atas, tantangan bagi Perbankan Syariah harus ditanggapi dengan spirit untuk meningkatkan kualitas Perbankan Syariah Nasional, Hal ini baik berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (pemilik Bank, pemegang saham pengendali, karyawan ) maupun produk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan produk perbankan syriah harus sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama, walaupun produk tersebut digunakan secara internasional.


D. Penutup


Regulasi perbankan syariah di Indonesia dimulai dalam UU No 7 Tahun 1992 dengan menggunakan istilah bank berdasarkan prinsip bagi hasil. UU No 10 tahun 1998 memberikan peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia.
Namun demikian karena perbankan syariah memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan perbankan konvensional, maka diperlukan adanya undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah.

UU Perbankan Syariah mengatur lebih konprehensif tentang bank syariah. UU ini memberikan peluang yang sangat besar untuk pertumbuhan bank syariah. Selain memberikan
peluang, UU Perbankan Syariah juga memberikan tantangan bagi para pelaku bank syariah nasional agar dapat berkompetisi dengan bankir asing yang berminat terjun dalam perbankan syariah di Indonesia.




1 komentar:

  1. 1xbet korean 2021 - legalbet
    1xbet korean 2021. For the past 6 1xbet korean months, I have been playing at the top 5 online casinos in North America. The 제왕카지노 main thing I have been 온카지노 to

    BalasHapus